tanpa dibantu salah satu anggota kelompok pun saya berniat untuk mengerjakan demi mendapatkan nilai yang memuaskan. maklumlah kelompok saya anaknya SESUATU banget.
mereka tinggal menerima jadi drama itu tanpa memikirkan perasaan dan hasil kerja keras saya. saya sempat kecewa dan marah. tapi setelah saya pikir-pikir lagi, udahlah ngga papa nanti juga saya sendiri yang mendapatkan hikmah dari ini semua. dan saya juga berpengalaman membuat drama..huhuiii...
okeh langsung aja yah..
ini dia naskah darama SANGKUIAG SAKTI
SANGKURIANG
SAKTI
Pada zaman dahulu
kala, di daerah Parahiyangan Jawa Barat ada sebauh kerajaan yang diperintah
oleh Prabu Galuga. Ia seorang raja yang gagah perkasa. Umurnya sudah 40 tahun
namun ia tidak mempunyai permaisuri, memang dia tidak ingin beristri. Karena
sang Prabu tidak juga beristri, kadang-kadang ayahnya yang sudah hidup sebagai
pertapa datang ke istana untuk memberi nasihat.
Ayah
Prabu Galuga : “Anakku, kau harus segera
mempunyai permaisuri yang akan melahirkan penerus kerajaan ini !”
Prabu
Galuga : “Ah, ramanda tidak
usah kuatir. Bila nanti tiba saatnya saya pasti akan mendapatkan jodoh.
Sekarang ini saya masih belum berniat untuk beristi.”
Ayah
Prabu Galuga : “Kau ini
bagaimana? Kodrat seorang raja adalah menikah mempunyai anak. Kau jangan
menentang ketentuan Yang Maha Kuasa.” (dengan nada tinggi karena kesal)
Prabu
Galuga : “Mohon maaf rama. Saya
belum berminat.”
Ayah
Prabu Galuga : “Ya sudah, tapi harus
kau camkan peringatanku ini. Seingatku sudah dua kali aku menasehati kau tentang
pentingnya seorang istri bagimu.”
Prabu
Galuga : “Saya akan
pertimbangkan rama.”
Ayah
Prabu galuga : “Baiklah aku akan kembali
ke pertapaan.” (sambil berjalan menuju pertapaannya)
Selang
seminggu setelah kedatangan ayahnya, sang ayah meninggal dunia. Suatu hari Prabu
Galuga ingin berburu binatang, biasanya ia ditemani pengawalnya dan seekor
anjing istana yang konon adalah jelmaan dewa.
Prabu Galuga : “Ayo pengawal kita berangkat sekarang.”
Pengawal
: “Baik tuan.”
Prabu
Galuga : “Ada apa ini ? kenapa anak
panahku tak pernah mengenai sasaran?” (berbicara sendiri)
Pengawal
: “Ada apa gusti Prabu ?”
Prabu
Galuga : “Aku bingung pengawal mengapa
anak panah ku meleset terus.”
Pengawal
: “Saya rasa hari ini kita belum
beruntung tuan.”
Prabu
Galuga : “Emm. Pengawal cepat tinggalkan
aku sendiran!”
Pengawal
: “ Memangnya ada apa gusti
Prabu?”
Prabu
Galuga : “Aku mau buang air kecil, cepat
kau pergu dari sini!” (sambil mendorong pengawal karena sedikit kesal)
Beberapa saat kemudian
Pengawal
: “Tuan apa tidak sebaiknya kita
pulang saja. Karena hari telah sore.”
Prabu
Galuga : “Aku rasa kau benar. Ayo kita
pulang sekarang.”
Sembilan
bulan kemudian Prabu Galuga pergi berburu ke tempat yang sama. Tiba-tiba
terdengar suara tangisan bayi.
Prabu
Galuga : “Aneh? Anak siapa yang
ditinggalkandi tengah-tengah hutan seperti ini?” (sambil mencari dari mana
asalnya suara tersebut)
Pengawal
: “Gusti Prabu! Tak usah
dihiraukan. Jangan-jangan suara jin perewangan!”
Prabu
Galuga : “Sebaiknya kita cari suara
tangisan bayi itu pengawal!”
Pengawal
: “Baik tuan.”
Prabu
Galuga : “Hah? Seorang bayi? Siapa orang
yang tega meinggalkan bayinya di tengah hutan begini?” (kaget dan heran)
Ia
menggendong bayi itu, sementara dari balik semak-semak seekor babi hutan betina
memperhatikannya. Hanya tetes air mata berlinangan di wajahnya. Tiba-tiba
terdengar sebuah suara mengiang di telinganya.
Dewi : “Prabu
Galuga! Bayi itu adalah anakmu dengan bidadari yang tengah menjalani hukuman
dari para dewi. Kodrat seorang manusia adalah menikah dan mempunyai anak, kau
telah mencoba mengelak dari kodrat, bawalah bayi itu pulang!”
Bayi
itu diasuh dan diberi nama Nyi Dayang Sumbi. 17 tahun kemudian gadis kecil itu
telah tumbuh menjadi seorang dara cantik jelita. Hampir setiap pekan datang lamaran.
Namun ia selalumenolaknya. Hal itu membuat prabu galuga mulai berpikir.
Prabu
Galuga : “Apakah ini sebuah karma
bagiku?” (berkata dalam hati)
Dayang
Sumbi : “ Ada apa ayah ?”
Prabu
Galuga : “Kau harus segera menikah
Sumbi!”
Dayang
Sumbi : “Ampun ayahanda. Hamba belum
berminat untuk berumah tangga.”
Prabu
Galuga : “Sumbi, hanya ada dua pilihan
bagimu. Mau menikah atau kau kuasingkan di tepi hutan. Hanya ditemani seekor
anjing dan jangan pernah kembali ke istana, kecuali aku sendiri yang
memerintahmu!”
Dayang
Sumbi : “Baiklah aku akan memilih
tinggal di tepi hutan.”
Sesampainya ditepi hutan
Tumang : “Sumbi kau tidak usah bersedih
saya akan setia menemanimu sampai kau diperintahkan untuk kembali ke kerajaan
lagi.”
Dayang
Sumbi : “(kaget dan heran) benarkah itu suaramu tumang? Apa kau bisa bicara? Oh
tumang akhirnya aku punya teman di tengah-tengah kesepian ini.”
Tumang : “Benar Sumbi aku bisa bicara. Aku
akan menjadi temanmu selama kamu kesepian. Tapi apa kamu mau berteman dengan
seekor anjing sepertiku?”
Dayang
Sumbi : “Aku tak peduli meskipun kau seekor anjing. Yang penting aku punya
teman sekarang.”
Suatu
hari ketika sedang menenun salah satu tongkatnya jatuh kebawah dangau. Ia
merasa malas untuk mengambil.
Dayang Sumbi : “Siapa yang mau mengambilkan tongkatku ia akan aku
jadikan suami.”
Tumang : “Ini
tongkatmu Sumbi.”
Dayang Sumbi : “Tumang bukan
engkau yang kumaksud.”
Dewi :
“Dayang Sumbi kau adalah bidadari. Bidadari pantang menjilat ludahnya sendiri,
lagi pula si Tumang memang jodohmu. Sesunggnya anjing itu adalah jelmaan dewa.”
Dayang
Sumbi Dikaruniai anak laki-laki tampan. Ia diberi nama Sangkuriang. Tak terasa
sangkuriang sudah tumbuh besar dan panai berburu. Suatu hari sangkuriang hendak
berburu.
Dayang Sumbi : “Nak, bawakan ibu
daging kijang yah?”
Sangkuriang
: “Ya bu.”
Lewat lah seekor babi
putih.
Babi
putih : “Menantuku tumang, apakah itu cucuku ?”
Tumang : “ Benar bu dia adalah sangkuriang
cucu ibu.”
Babi
putih : “Oh tuhan, aku ingin
memeluk dan berbicara dengan cucuku tapi apalah daya ini dia tak mungkin
percaya terhadap ucapanku.”
Sangkuriang
: “Tumang! Cepat gigit babi itu!”
Babi
putih : “mengapa kau tega nak. Aku
ini nenekmu. Aku nenekmu nak.” (berbicara dalam hati)
Sangkuriang : “Hei Tumang apa kau tidak dengar kataku!
Cepat gigit babi itu!”
Tumang
hanya terdiam
Sangkuriang
: “Ayo tumang serang dia! Tumang
mengapa kau menjadi bodoh begitu? Huh dasar anjing bodoh!”
Sangkuriang
memanah ke arah babi itu. Namun anak panah tepat mengenai tumang. Kemudian ia
menyembelih anjing itu. Sampai dirumah daging itu dimasak oleh dayang sumbi dan
dimakan bersama-sama.
Dayang Sumbi : “Sangkuriang.
Kemana si tumang?”
Sangkuriang : “Bu. Anjing itu sudah berani melawan
perintahku. Tadi kusuruh menyerang babi hutan malah diam saja. Akhirnya dialah
yang ku panah.”
Dayang
Sumbi : “Apa? Si tumang kau
bunuh?”
Sangkuriang
: “Kenapa bu?” (terkejut)
Dayang
Sumbi : “Si Tumang. Si Tumang kau
panah, kau bunuh?” (berbicara terbatah-batah)
Sangkuriang : “Benar bu! Memangnya kenapa?”
“PPRRAAKK” dayang sumbi memukul kepala
sangkuriang dengan entong.
Dayang
Sumbi : “Pergi kau dar hadapanku!
Dasar anak durhaka!”(bentak dayang sumbi)
Sangkuriang : “Baik aku akan pergi bu dan tidak akan
kembali lagi.”
Ia bertemu
pertapa sakti.
Guru : “Siapa
namamu nak? Mengapa kau tergeletak ditengah-tengah hutan?”(membangunkan
sangkuriang)
Sangkuriang : “Emm..aku tak thu
siapa namaku. Dan kau juga tak tahu tentang diriku sendiri.”
Guru : “Wah.
Sepertinya kau hilang ingatan. Maukah kau menjadi salah satu muridku?”
Sangkuriang : “Baik bapak guru.”
Guru : “Dan
sekarang aku akan memberimu nama Jaka Galih.”
12 tahun kemudian.
Guru : “Sudah
saatnya kau mengamalkan ilmu kepada masyarakat yang telah ku ajarkan!”
Sangkuriang : “Baik bapak. Saya
akan berpetualang untuk membantu masyarakat.”
Guru : “Pesanku
janganlah kau berjalan ke arah selatan.”
Sangkuriang : “Kenapa saya tidak
boleh berjalan ke arah selatan bapak guru?”
Guru : “Sudahlah
turuti saja nasihatku. Supaya kau tidak ditimpa nasib yang sial.”
Sangkuriang : “Saya akan mengingat
pesan bapak guru.”
Ia
segera meninggalkan pertapaannya. Suatu ketika, ia berkelahi dengan raja jin
dan dia berhasil mengalahkan raja jin tersebut sehingga raja jin tunduk kepada
sangkuriang.
Raja Jin : “Saya
berjanji suatu ketika saya akan membantu tuan.”
Sangkuriang : “Bagaimana caraku
memanggilmu?”
Raja Jin : “Sebut
namaku dan hentakkan kaki tuan tiga kali, maka aku akan datang dengan
pasukanku.”
Sangkuriang : “Baiklah kalau begitu.”
Suatu
hari ia idak menyadari bahwa ia berjalan ke arah selatan. Ia melihat seorang gadis. Hatinya
berdebar kencang, dan ia pun terpesona. Lalu mereka berkenalan.
Sangkuriang : “Siapa namamu nona?”
Dayang Sumbi : “Nama saya dayang sumbi tuan. Dan
siapa nama Tuan?”
Sangkuriang : “Nama
saya Jaka Galih. Bolehkah saya mengantarkan nona pulang?”
Dayang Sumbi : “Tentu saja tuan.”
Sangkuriang : “Apakah itu rumahmu?”
Dayang Sumbi : “Ia tuan. Itu ramah saya.”
Sangkuriang : “Kalau begitu saya
mohon pamit nona.”
Dayang
Sumbi : “Tapi hari sudah gelap.
Apa tidak sebaiknya kamu menginap di atas dangau?”
Sangkuriang : “Baiklah. Jika itu pintamu.”
Suatu hari mereka sedang bercengkrama,
tiba-tiba...
Dayang
sumbi : “Aku rasa ada bekas luka
di kepalamu ?”
Sangkuriang
: “Benarkah?”
Dayang
Sumbi : “Benar. Bisakah kau
ceritakan sebab lukamu itu?”
Tiba-tiba
Sangkuriang sedikit teringat masa lalunya.
Dayang
Sumbi : “Memangnya apa penyebab
luka itu?”
Sangkuriang : “Itu bekas dipukul entong oleh ibuku sendiri.”
Dayang
Sumbi : “Hah? Dipukul entong?”
Sangkuriang : “Iya. Ketika aku berusia tujuh
tahun, memangnya kenapa?”
Dayang
Sumbi : “Kalau begitu kau adalah
anakku. Kau adalah anakku sangkuriang.”
Sangkuriang : “Tidak mungkin! Jangan cari-cari
alasan! Meskipun namamu dengan nama ibuku sama, tapi kau tida mungkin ibuku.”
Dayang
Sumbi : “Tapi aku ini ibumu nak.”
Sangkuriang
: “Tidak mungkin kau ibuku.
Ibuku pastilah sudah berusia lanjut dan tidak secantik dirimu.”
Dayang
Sumbi : “Aku adalah keturunan
bidadari, dan aku tidak akan tua.”
Sangkuriang : “Aku tidak percaya dengan
ucapanmu itu.”
Dayang
Sumbi : “Oh dewi bagaimana ini?
Tolonglah aku. Dia adalah anakku dewi.”
Sangkuriang : “Bagaimanapun kau harus menjadi
istriku!”
Dayang
Sumbi : “Tidak mungkin aku
menikah dengan kau nak.”
Sangkuriang : “Kau bukan ibuku, dan aku bukan
anakmu.” (dengan nada tinggi)
Dayang
Sumbi : “Baiklah aku mau menikah
denganmu, tapi kau harus membuatkanku sebuah telaga di pucuk gunung.”
Sangkuriang : “Cuma telaga? Jangan kuatir akan
kubuatkan.” (jawabnya dengan mantap)
Dayang
Sumbi : “Bukan hanya itu tapi
dengan sebuah perahu besar. Dan semua itu harus kau kerjakan dalam tempo
semalam saja. Sebelum ayam berkokok semua harus sudah selesai.”
Sangkuriang : “jangan kuatir. Apapun
permintaanmu akan kuturuti.”
Sangkuriang segera
memanggil raja jin.
Raja Jin
: “Ada apa tuanku?”
Sangkuriang : “Cepat kau bantu aku membuat telaga dan
perahu besar.”
Raja Jin : “Baik tuan.”
Dayang Sumbi : “Oh dewi gagalkanlah kerja jin dan sangkuriang. Tolong
cepatkanlah matahari terbit.”
Dewi : “Baik Sumbi.”
Ayam jantan pun
berkokok.
Raja Jin : “Coba
dengar itu. Itu suara ayam berkokok. Kita harus segera kembali ke alam jin.”
Jin : “Benar
tuan, jika tidak tubuh kita akan terbakar oleh sinar matahari.”
Sangkuriang : “Hei raja jin ayo lanjutkan kerjamu!”
Raja Jin : “Maaf tuan
hamba harus pergi karena hari telah pagi.”
Sangkuriang
menghampiri dayang sumbi.
Sangkuriang : “Kau curang! Pasti
kau menggunakan kekuatan dewi untuk menggagalkan ini.”(sambil menendang perahu)
Seketika perahu itu
berubah menjadi gunung. Yang diberi nama gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang : “Aku tak peduli apapun yang terjadi, kau
harus menjadi istriku!”
Dayang Sumbi : “Sangkuriang
sadarlah. Kau adalah anakku.” (sambil berjalan menjauhi sangkuriang)
Sangkuiang : “Keujung
duniapun kau berjalan aku akan mendapatkanmu!” (teriak sangkuriang)
Dayang
Sumbi : “Wahai Dewi tolonglah
hamba. Selamatkanlah hamba!”
Namun
dalam sekejap sangkuriang memegang tangan dayang sumbi.
“BBLLAARR”
tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat. Tubuh dayang sumbi menghilang.dia
diselamatkan oleh dewi kekayangan.
Dayang
Sumbi : “Oh dewi terima kasih, kau
telah menyelamatkanku.”
Dewi : “Sama-sama dayang sumbi.
Bagaimanapun para dewi tidak mengizinkan seorang anak mengawini ibunya
sendiri.”